Nol

Mengejar banyaknya nol setelah angka 1
Hiraukan piyik yang merindukan induk
Abaikan kasih yang menjerit pedih
Tukarkan waktu dengan ratapan buah hati pilu

Dibalik nol ada hasrat
Dibalik nol menyimpan tabiat
Dibalik nol menuai sari ambisius
Berkobar kekar dan siap membius
Sayang…. hatimu hangus

Kini senja telah mengukir
Semua yang dilakukan terrkipir
Sebenarnya nol tiada berharga
Jika raga terlepas nyawa

Berawal Dari Bahasa Ibu

ibuBahasa ibu (bahasa asli, bahasa pertama; secara harafiah mother tongue dalam bahasa Inggris) adalah bahasa pertama yang dipelajari oleh seseorang. Dan orangnya disebut penutur asli dari bahasa tersebut. Biasanya seorang anak belajar dasar-dasar bahasa pertama mereka dari keluarga mereka (saya kutip dari wikipedia).

Proses kita dalam mempelajari bahasa ibu akan menjadi landasan proses belajar berikutnya. Mengapa seperti itu? Karena bahasa ibu dianggap sebagai dasar cara berfikir. Kepandaian yang kurang dari bahasa pertama seringkali membuat proses belajar bahasa lain menjadi sulit.

Kalau kita fikir mungkin tidak hanya dalam memahami bahasa lain yang sulit, tetapi segala aspek kehidupan. Karena dengan bahasa manusia berkomunikasi, menciptakan keindahan, menyatakan perasaan-perasaannya, menyampaikan pengetahuan dan kebudayaan dari generasi ke generasi dan angkatan ke angkatan.

“Seorang ibu adalah orang pertama yang memperkenalkan bahasa kepada anaknya. Saat ia akan meninabobokkan anaknya, maka bahasa yang muncul pertama kali adalah bahasa daerahnya atau lebih dikenal dengan istilah bahasa ibu”. Pada akhirnya ibu lah yang berperan penting dalam pembetukan cara fikir generasi mendatang.

gambar dari http://faradicha.wordpress.com

Bahasaku Menangis Menerima Tantangan Teknologi

Mencoba untuk mengupas berdasarkan pengalaman sendiri.  Seperti apa peranan bahasa Indonesia dalam perkembangan dunia teknologi. Kita ketahui bahwa ilmu teknologi khusunya teknologi  informasi sebagian besar di ambil dari negara barat, karena merekalah yang menciptakannya dan yang memiliki idenya.

Penyerapan ilmu tekonolgi dari barat berdampak pada banyak sekali munculnya kata-kata asing dalam kamus besar bahasa Indonesia. Kenapa bahasa kita harus mencuplik  bahasa asing? Sebegitu keringkah perbehendaraan kata pada bahasa kita untuk memaknai istilah-istilah teknologi.

Selain kering perbehendaraan kata untuk mengartikan istilah teknologi, bahasa kita juga kurang efisien dalam penyebutan istilah, misalkan: home = halaman depan, untuk arti yang sama pada bahasa Inggris hanya menggunakan 1 kata dengan 1 suku kata (home baca “hom”). Simple, ringkas sekali bukan? Sedangkan untuk bahasa Indonesia membutuhkan 2 kata dengan dengan 5 suku kata (halaman depan baca “ha-la-man-de-pan”).

Kekurangan ini sedikit memberi kendala bagi para pelaku teknologi. Jika mereka ingin membuat sebuah produk yang benar-benar memakai bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia kurang efisien akhirnya harus mengadopsi kata-kata dari luar. Apabila produk tersebut hanya satu bahasa mungkin kekurangan tetnang bahasa tersebut tidak begitu terlihat. Tetapi bila kita membuat produk dengan dua bahasa akan begitu jelas terlihat kepincangan pada bahasa Indonesia.

Walaupun begitu kebanggaan para pelaku teknologi terhadap bahasa Indonesia patut di acungi jempol. Banyak di antara mereka yang berlomba-lomba membangun produk yang bener-bener berbahasa Indonesia. Seperti Sistem Operasi para komputer dengan bahasa Indonesia.

Emosi dalam Tulisan

Dalam sebuah pertemuan dengan orang yang baru kita kenal, tiba-tiba orang itu menawari kita sebuah pekerjaan dengan gaji menggiurkan. Tentu reaksi kita sedikit berbeda dengan tipe kenalan lain yang mungkin sekadar bertanya, mau pergi kemana? Dengan tawaran pekerjaan tersebut, barangkali kita menjadi bersemangat untuk melanjutkan perbincangan.

Begitu halnya dengan tulisan. Teknik pembuka sebuah tulisan sangatlah penting. Pembaca perlu ditambatkan minatnya bahkan sejak kalimat pertama. Paragraf pembuka menentukan apakah pembaca akan meneruskan membaca atau tidak. Jadi, konsentrasi lebih saat menulis adalah membuat awalan tulisan. Apa pun jenis tulisan kita dan apa pun hal yang akan kita tulis sebisa mungkin harus memikat hati pembaca sejak awal. Lalu, kita buat pembaca tersebut merasa beruntung karena telah membaca tulisan kita. Analoginya adalah yang saya uraikan di atas, seperti seorang kepala bagian personalia yang tengah membutuhkan banyak karyawan dan mengajak kenalan dengan kita. Kita perturutkan emosi pembaca dalam tulisan kita sejak awal, lalu kita ikat terus hingga akhir tulisan kita.

Note : sekilas tulisan ini adalah kiriman dari Bpk. Karkono Supadi Putra (Dosen Sastra Indonesia Universitas Malang) yang diterbitkan Surya Online minggu kemarin. Terimakasih kirimannya pak… 🙂

Pencarian Semut 2

Suara motor dan mobil menderu-deru. Timer pada lampu merah hampir menuju ke angka  satu. Semua pada bersiap-siap tancap gas. Mengomentari jalanan dengan asap kendaraannya masing-masing. Kulirik tangan kak Dian, semakin kokoh memegang gas. Aku tersenyum dari belakang. Kayaknya rengekanku tidak  membuatnya grundel. “Emang semut itu apaan sich dek??”dia begitu penasaran. “Sudahlah nanti kakak juga tau?” jawabku sambil mengamati sepasang muda mudi yang sedang bergandengan mesra di sepeda motor Honda yang mereka kendarai.

“Wuss… nging..” suara mio kencang, melaju ke arah jalan Kahuripan. Aku melirik sepintas trafik light, masih merah. “Huu dasar…, nrobos saja padahal masih merah” gumamku dalam hati. Seperti air telaga, kak Dian tenang saja mengamati mio yang menerobos tadi. Mungkin sudah biasa melihat hal-hal yang seperti itu, karena dia lama tinggal di kota besar.

Ach… yang ditunggu-tunggu akhirnya mucul, lampu hijau memberi simpul agar kami segera menuju ke tempat sarang semut. Hanya 10 menit dari trafiklight untuk menuju ke sarang semut. “Yang mana?” tanya kak Dian. “Yang itu kak…!” sahutku sambil menunjuk ke arah gapura gerbang semut. “Weeee… aku kayaknya pernah melihat tempat ini!!!” kak Dian memastikan. “Masak sich…!” melihat kak Dian yang sibuk memarkirkan sepeda motornya. 😉

Kami pun masuk ke arah sarang semut. Sudah banyak penggemar semut yang enjoy duduk sambil menikmati semut. Ada yang satu keluarga, ada yang bareng sama temennya. Tempatnya terbuka, udara bebas bermuara disini. Kursi kayu sederhana terjajar rapi di sepanjang gang. Pandangan kami tertuju pada tungku-tungku kecil yang berasap. Aroma gurih yang tercium sejak berada di tempat parkir ternyata dari sini. Disinilah produksi semut di lakukan.  Bener-bener sederhana, menggunakan tungku tanah liat diameter kurang lebih 15cm. Bahan bakarnyapun dari arang.

“Pesan apa mbak?” seorang pelayan menyodorkan nota yang berisi menu-menu andalan disini. “Dek cari tempat duduk aja dulu..!” bisik kak Dian. Aku mengikutinya dari belakang.

bersambung