Suara motor dan mobil menderu-deru. Timer pada lampu merah hampir menuju ke angka satu. Semua pada bersiap-siap tancap gas. Mengomentari jalanan dengan asap kendaraannya masing-masing. Kulirik tangan kak Dian, semakin kokoh memegang gas. Aku tersenyum dari belakang. Kayaknya rengekanku tidak membuatnya grundel. “Emang semut itu apaan sich dek??”dia begitu penasaran. “Sudahlah nanti kakak juga tau?” jawabku sambil mengamati sepasang muda mudi yang sedang bergandengan mesra di sepeda motor Honda yang mereka kendarai.
“Wuss… nging..” suara mio kencang, melaju ke arah jalan Kahuripan. Aku melirik sepintas trafik light, masih merah. “Huu dasar…, nrobos saja padahal masih merah” gumamku dalam hati. Seperti air telaga, kak Dian tenang saja mengamati mio yang menerobos tadi. Mungkin sudah biasa melihat hal-hal yang seperti itu, karena dia lama tinggal di kota besar.
Ach… yang ditunggu-tunggu akhirnya mucul, lampu hijau memberi simpul agar kami segera menuju ke tempat sarang semut. Hanya 10 menit dari trafiklight untuk menuju ke sarang semut. “Yang mana?” tanya kak Dian. “Yang itu kak…!” sahutku sambil menunjuk ke arah gapura gerbang semut. “Weeee… aku kayaknya pernah melihat tempat ini!!!” kak Dian memastikan. “Masak sich…!” melihat kak Dian yang sibuk memarkirkan sepeda motornya. 😉
Kami pun masuk ke arah sarang semut. Sudah banyak penggemar semut yang enjoy duduk sambil menikmati semut. Ada yang satu keluarga, ada yang bareng sama temennya. Tempatnya terbuka, udara bebas bermuara disini. Kursi kayu sederhana terjajar rapi di sepanjang gang. Pandangan kami tertuju pada tungku-tungku kecil yang berasap. Aroma gurih yang tercium sejak berada di tempat parkir ternyata dari sini. Disinilah produksi semut di lakukan. Bener-bener sederhana, menggunakan tungku tanah liat diameter kurang lebih 15cm. Bahan bakarnyapun dari arang.
“Pesan apa mbak?” seorang pelayan menyodorkan nota yang berisi menu-menu andalan disini. “Dek cari tempat duduk aja dulu..!” bisik kak Dian. Aku mengikutinya dari belakang.
bersambung